
Oleh Zulfata : Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM), Tebet, Jakarta Selatan
Jakarta, JurnalExpose
Sore itu, usai memimpin evaluasi penerbitan suatu majalah level nasional, saya mendapat pesan WhatsApp, “Ngopi di Benhil ya”. Saat itu pun saya menuju lokasi diskusi. Suasana jalan padat, peta cerdas google menampilkan jalur merah yang sangat panjang, jarak tempuh yang biasanya hanya sekitar 30 menit berubah menjadi satu jarak tempuh jam setengah, maklum, itu waktunya pulang para pekerja perkantoran atau perusahaan di Jakarta.
Saya tiba di Benhil sedikit telat, karena diskusi sifatnya santai dan mencair, salah satu narasumber menyambut saya dengan mengatakan “tulisannya bagus, menarik, sudah saya baca tadi”. Sambil memberi senyum, dalam pikiran saya terbesik mungkin tulisan yang dimaksud adalah tulisan bincang-bincang inspirasi hari sebelumnya. Diskusi pun berlanjut, sore itu diskusi dihadiri oleh banyak narasumber yang cenderung berpengalaman dalam bisnis dan politik, dalam pandangan saya dominan narasumber yang hadir didominasi oleh orang-orang yang sangat paham terkait asam garam di sektor bisnis korporasi skala nasional dan internasional.
Di sela pembicaraan, satu narasumber memperlihatkan pakaian jadi bermotif keacehan, dua lembar baju keacehan yang menarik, elegan serta penuh makna yang mendalam, mungkin harganya mahal bagi kantongnya saya pribadi. Yang ingin saya katakan bukanah soal baju itu, tetapi sambil memperkenal baju tersebut narasumber melontarkan kalimat bahwa “ini baju cantikkan? Motifnya Aceh-Aceh gitu? Tapi yang buat bukan orang Aceh?”. Pernyataan narasumber ini kemudian secara tidak langsung menggiring fokus diskusi saat itu terkait keacehan dalam panggung nasional.
Selanjutnya, narasumber yang awalnya memperkenalkan baju tersebut melontarkan pertanyaan lagi di hadapan pelaku diskusi “Mengapa orang Aceh tidak bersatu gitu ya?” beda dengan orang Makassar, Manado?”. Lantas narasumber lainnya langsung menjawab “tidak juga sedemikian, di Jakarta ini juga orang-orang beranggapan bahwa orang Aceh itu juga kompak, tetapi untuk soal Aceh ini terkadag memang unik dan aneh”.
Kemudian narasumber ini melanjutkan bahwa Aceh tidak akan pernah maju jika selalu atau ketika sudah berjuang atau telah beraktivitas di Ibu Kota Jakarta masih mempertanyakan di mana kampung kamu? Awak pane dron? Pat Gampong? Pada akhirnya itu membangun kesadaran dan daya gerak untuk tidak bersatu atas nama Aceh secara universal, sederhananya dapat sisebut satu Aceh.
Gagasan satu Aceh ini bukanlah mengarah pada orang nomor satu nantinya akan memimpin Aceh di Pilkada 2024, tetapi gagasan satu Aceh merupakan keinginan untuk menjadikan masyarakat Aceh atau elite Aceh yang berada di lingkaran kekuasaan di pemerintah pusat tidak lagi terjebak pada sikap membeda-bedakan orang Aceh secara kedaerahan. Misalnya ini orang dari Barsela, itu orang dari ALA, ini orang Pidie, Aceh Tengah, Singkil dan seterusnya.
Praktik mengkotak-kodakkan sesama orang Aceh justru akan menjadi jebakan bagi masa depan Aceh, Aceh tidak akan maju-maju kalau pola pikirnya masih sedemikian. Warga Aceh, siapapun dia, semestinya harus merasa satu untuk mencapai tujuan bersama, tidak saling mengedepankan ego sektoral. Semuanya mesti menyatu sebagai satu kata, yaitu Aceh.
Selanjutnya, narasi dalam diskusi ini terus mencuat bahwa untuk membangun Aceh secara menyeluruh, mesti dibenahi dulu sistemnya bahkan kultur sosialnya yang dapat mengkerdilkan marwah Aceh, juga pola pikiran generasi muda Aceh hari ini yang mesti kuat dengan kesadaran satu Acehnya. Suka atau tidak, Aceh hari ini belum mampu mengelola sumber daya alamnya. Oleh karena itu generasi Aceh mesti belajar ke negara lain untuk kemudian kembali ke Aceh agar dapat mengelola kekayaan alamnya sendiri.
Sungguh Aceh tidak akan maju jika tidak ada sentuhan bisnis-korporasi keacehannya di panggung nasional dan internasional. BUMD di Aceh harus mampu tumbuh sehat tanpa ada praktik dagang sapi di dalamnya. Membangun Aceh mesti dengan uang yang sangat banyak, tidak cukup berharap selamanya dari APBA. Daya serap tenaga kerja skala besar di Aceh hanya dapat dilakukan melalui kemampuan daya bisnis pemerintah Aceh di kancah nasional dan internasional.
Diksusi terkait satu Aceh ini tampaknya mengarah bagaimana untuk menyatukan generasi muda Aceh yang cenderung telah dirusak oleh generasi seniornya. Benar bahwa masa lalu sekitar tahun 1960-an Aceh dikenal sebagai daerah yang ahli beradagang di panggung nasional dan internasional. Berbagai komoditasnya tidak hanya dikenal oleh dunia, tetapi juga banyak menguntungkan daerah Aceh itu senidri.
Tidak dengan kondisi Aceh sekarang. Contoh kecilnya, coba perhatikan bagaimana laju perdagangan di pelabuhannya? Lihat pula daya laju pelabuhan provinsi tentangganya? Sungguh memahami dua pertanyaan ini akan berujung pada kemalangan Aceh dalam setiap agenda pembangunan. Demikian pula spirit satu Aceh, gagasan satu Aceh ini senantiasa ingin mendobrak kacamata, sudut pandang, cara bersikap, cara pikir, cara berdiplomasi bisnis, hingga cara berpolitik dengan pemerintah pusat. Artinya Aceh harus mampu memperbaiki dirinya dalam melihat serta memahami pemerintah pusat. Sehingga tidak selalu meyalahkan pemerintah pusat dalam setiap agenda dan program pembangunan di Aceh yang telah berjalan kacau-balau.
Hal ini terbukti pada saat beberapa kasus penggarapan kekayaan alam Aceh yang kini tampak membuat Aceh kewalahan menggarapnya. Jika Aceh tidak sanggup, maka jangan pula menjadikan pemerintah pusat sebagai kambing hitam, tetapi sebaiknya Aceh terus belajar dan terus memperbaiki diri. Intinya Aceh harus bersatu dalam menghadapi tantangan dari pemerintah pusat. Jika tidak, Aceh akan terus terpecah-belah, atau sengaja terus dipecah-pecahkan.
Gerakan satu Aceh mesti terus didengungkan, diperkuatkan dengan gerakan secara nyata, progres kebaikan untuk kemajuan Aceh harus terjadi. Pemimpin yang kuat untuk Aceh harus digodok, dicari dan dipersiapkan, keburukan pemimpin Aceh terdahulu cukup dijadikan pembelajaran. Kita lihat saja bagaimana Aceh 2024 nanti, ada tanda-tanda kemajuan atau justru semakin tertinnggal. Generasi Aceh hari ini tidak boleh larut dengan romantika sejarahnya yang pernah sukses namun dirusak oleh generasi (pemimpin) Aceh kekinian yang penuh perilaku buruk.
Diskusi satu Aceh berlangsung hingga lewat tengah malam, tepatnya pukul dua kurang lima menit. Meski diskusi semakin menarik, namun narasumber utama mengatakan “malam ini kita harus pulang”, sehingga diskusi satu Aceh dijeda untuk sementara waktu. Sanking serunya diskusi malam itu, kalimat yang biasa dalam menutup diskusi “sibak rukok teuk” pun tak keluar.
( Cautsar Ismail )