Organisasi Mahasiswa sebagai Agent of Social Control, Masih Relevankah?
Oleh : M. Ihsanuddin Izzu M
(Pimpinan Sekolah Kita Menulis Jambi)
Dunia kampus selalu menjanjikan banyak hal kepada seluruh mahasiswa yang ada dalam binaan sistemnya. Mulai dari hal-hal yang bersifat akademis maupun yang non-akademis. Tentu, tidak ada yang salah dengan itu. Sebut saja itu sebagai bagian dari strategi pemasaran kalua boleh memakai istilah dalam marketing. Nama kampus layaknya nama produk, yang akan laku dan bergeming Ketika telah banyak didengar namanya. Entah itu sering disebut karena sejarah kampusnya, prestasi mahasiswa yang berada di kampusnya, dosen di kampusnya, ketajamannya dalam berdemonstrasi dan berbagai macam lagi.
Di dalam kampus kita akan dihadapi dengan berbagai macam peristiwa. Pola-pola yang menguji kesabaran dan mental mahasiswa yang sedang menjalani prosesnya. Baik mahasiswa yang berorganisasi maupun yang tidak berorganisasi pasti mengalaminya tanpa terkecuali. Pola-pola tersebut terbukti dapat memacu sebagian mahasiswa untuk lebih maju, meskipun sebagian yang lain bisa dibuat “tenggelam” karena tidak kuat mengikuti arus pola-pola tersebut. Pola-pola tersebut biasa dikenalkan dengan istilah “dinamika”.
Mahasiswa yang berorganisasi sudah barang pasti tidak akan asing lagi membaca istilah “dinamika” ini, sudah menjadi makanan sehari-harinya dalam berproses di organisasi yang mereka geluti. Hal ini didesain agar bagaimana anggota-anggota organisasi dapat memiliki brilliant thinks, mengasah anggota-anggotanya menjadi problem solver dan tidak dipungkiri juga ada menjadi pelobi yang handal pada bidangnya dan ada juga yang kemudian memutuskan keluar dari organisasi itu. Berbagai hal bisa terjadi disebabkan oleh dinamika ini.
Mahasiswa yang bertahan melewati dinamika-dinamika tersebut biasanya ia akan dibebani tanggung jawab lebih besar lagi dan disebut dengan kader. Seorang kader organisasi musti menjadi “tulang punggung” organisasi dalam pencarian kuantitas dan membina kualitas anggota-anggota organisasinya. Tak cukup sampai di situ, kader sebuah organisasi wajib peka terhadap kondisi sekelilingnya dan peduli terhadap kehidupan sosial.
Seirama dengan itu, dalam fungsinya dikatakan bahwa mahasiswa adalah agent of social control (agen kontrol sosial). Dari slogan ini, mahasiswa pada hakekatnya diharapkan kembali ke masyarakat sebagai pengontrol sosial. Pengontrol yang dimaksud bukan sebagaimana mandor mengontrol pekerja, buruh bangunan atau buruh tani yang menjadi bawahannya, bukan juga menjadi bos yang menjauh dan hanya mau tau kerjaan beres dari karyawannya. Tapi pengontrol yang berada “ing madya” untuk “mangun karso” dalam kehidupan bermasyarakat.
Akan tetapi ketika melihat realita yang terjadi pada hari ini, mahasiswa yang berorganisasi cenderung telah meninggalkan fungsi esensinya selaku mahasiswa. Rata-rata sudah banyak yang “moh” terjun ke masyarakat karena sudah merasa besar, hebat dan lebih pandai. Bisa dikatakan cenderung ekslusif, gerak mereka tidak ada dalam ruang lingkup kemasyarakatan. Mereka merasa asing ketika bertemu dengan masyarakat.
Hal ini bisa ditelisik kebanyakan dari mereka lebih suka kepada hal-hal yang cenderung elit dan mahal. Lebih suka nongkrong di kafe-kafe, lebih suka makan bareng senior di restoran dan ada juga yang lebih suka ikut seniornya bermalam di hotel untuk “sibuk-sibukan” rapat atau pertemuan. Ini menunjukkan bahwa kredibelitas organisasi semakin membentuk stigma hanya membentuk orang-orang yang kuat di tataran atas saja, yang hanya mau menyentuh elemen terbawah dari lapisan masyarakat ketika mendekati masa pemilihan umum.
Lebih jauh lagi, hal ini bisa dilihat ketika nanti mendekati pemilihan umum. Banyak anggota-anggota organisasi akan mendadak ikut “sibuk-sibukan” ketika momen pemilihan umum akan dilaksanakan. Anggota-anggota tersebut akan sibuk menyari perintah dari seniornya yang berkepentingan untuk mengamankan suara, tidak dapat dipungkiri juga terkadang elit organisasi tersebut terlibat di dalamnya.
Lalu dimana bukti bahwa organisasi dapat memicu mahasiswa menjadi agen kontrol sosial ?
Jika ada yang mengatakan nantinya bahwa berpartisipasi dalam politik juga jalan untuk mewujudkan anggota organisasi yang menjadi agen kontrol sosial. Tapi, apakah iya ? sejauh yang saya amati, anggota organisasi yang terlibat dalam partisipasi politik hanya memikirkan kepentingan pribadinya semata. Anggaplah ada yang mengatakan juga untuk kepentingan organisasi, apakah wajar dengan menempuh jalan itu ? maka dimana esensi “organisasi”-nya, kenapa tidak sekalian berubah saja menjadi underbrown peserta politik terkait ? Tentu tidak berani juga bukan ? Tampak juga disini ada pragmatisasi yang terjadi.
Ketika mahasiswa yang berorganisasi enggan turun ke masyarakat sebagai agen kontrol sosial, maka hilanglah “Marwah” organisasi sebagai pemicu untuk merangsang anggota-anggotanya menjadi bagian yang paling inti dalam masyarakat. Karena sejatinya berorganisasi adalah bermasyarakat.
Jadi, masih relevankah organisasi mahasiswa ini dipertahankan ?