Kenapa Yang Berakal Itu di Syari’atkan Berpuasa ?
Penulis : Arif Zakiyul
Mahasiswa ilmu Al Qur’an dan tìafsir UIN Ar raniry Banda Aceh
Makhluq tuhan yang diciptakan dengan gen kompleks adalah manusia sehingga banyak dari manusia mampu membuat peradaban nya sendiri. Hal ini jelas telah allah sebutkan di dalam surah at tin : 4 ;
{ 4} لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,”
(QS. At-Tin 95: Ayat 4)
Maqsud dari kata sempurna tersebut, dimana allah swt telah membedakan antara manusia dengan hewan atau makhluq jism (makhluq berbentuk) yang lainnya. Ayat ini juga mengecualikan terhadap makhluq supranatural juga, seperti jin mereka terkadang hanya berbentuk setengah manusia sebagaimana sebahagian riwayat dalam hadis-hadis yang sahih lainnya di jelaskan.
Kesempurnaan manusia tidak hanya sampai pada jism (tubuh), Allah SWT juga mengaruniai naluri yang benar sehingga suatu sifat kepercayaan itu mudah tumbuh pada diri manusia, teori ini dapat kita coba pada seorang bayi, mereka bisa memakan apa saja tanpa kita berikan, walaupun yang sedang mereka makan tidak baik/kotoran, hal ini di sebab kan bukan hanya berawal dari ketidak tauan seorang bayi, akan tetapi di dalam diri bayi terdapat naluri kepercayaan bahwa apa yang dia makan itu baik. Sama halnya kita mempercayai ibu dan ayah kita sewaktu kecil. Bukan nya kita lebih mempercayai mereka karena paling dekat ketika kita lahir saja, dan jika mereka berbohong kita juga akan tetap percaya. Inilah naluri yang di berikan Allah SWT kepada kita.
Kini lebih kurang nya kita membahas tentang bentuk dan kesempurnaan manusia, Allah SWT telah menciptakan manusia dengan kompleks. Namun, manusia juga berkehidupan yang begitu layak dan berkembang karena di karuniai akal, untuk mengatur akal ini Allah menurunkan syari’at kepada manusia yang termaktub dalam al qur’an dan rasul menjelaskan al qur’an dengan hadis nya.
Dalam kesempatan ini penulis bermaqsud ingin menjelaskan kewajiban yang allah berikan berupa syari’at bukan hanya sekedar perintah, sebahagian ulama tasawuf menganggap nya sebagai waridat (pemberian) Syaikh Ibnu Athailah As-Sakandari melalui kitab tasawuf Al-Hikam, memberi peringatan agar seorang mukmin senantiasa memelihara kemampuannya berdzikir.
اِذاَ رَأيْتَ عَبْداً أقاَمهُ اللهُ تعالى بِوُجُودِ الاَورَدِ وَاَدَمَهُ عليهاَ مَعَ طُولَ الامساَدَ فَلاَ تـَسْتحْقِرَنَّ ماَمنَحَهُ مَولاهُ لاَنَّكَ لم تَرَعليهِ سِيماَ العاَرِفِينَ ولاَ بَهْجَةَ المُحِبِّينَ فَلولاَ واَرِدٌ ماكاَنَ وِرْدٌ
“Jika engkau melihat seseorang yang ditetapkan oleh Allah dalam menjaga wiridnya, dan sampai lama tidak juga menerima karunia [keistimewaan] dari Allah (warid), maka jangan engkau rendahkan [remehkan] pemberian Tuhan kepadanya, karena belum terlihat padanya tanda orang arif, atau keindahan orang cinta pada Allah, sebab sekiranya tidak ada warid [karunia Allah], maka tidak mungkin ada wirid.”
Penjelasannya Wirid dan warid yang telah diterangkan pada Hikmah 64 disinggung lagi dalam Hikmah 77 ini.
Wirid ialah macam-macamnya ibadah yang dikerjakan oleh hamba, seperti sholat, puasa, dzikir, baca Al-Quran, baca shalawat dan lainnya.
Maka, dalam problematika seorang yang ‘Arif (bertasawuf) mereka mengajarkan apa yang di turunkan/di perintahkan kepada manusia bukan semata tidak ada feedback nya kepada manusia, melainkan sesuatu itu ada warid nya (pemberian) kepada manusia. Dan tidak berhak seseorang rendahkan semangat orang lain dalam beribadah, seperti “si fulan terus beribadah tetapi Allah tidak pernah mengabulkan apa yang ia minta” . Sifat pesimis beginilah yang dilarang dalam agama bahwa di khawatirkan jatuh kepada ke kufuran seorang hamba.
Tidak hanya disitu termasuk puasa yang kita lakukan sekarang terdapat berbagai hikmah berupa warid yang tersembunyi di dalam nya seperti, mengajarkan kita terus mensyukuri harta, terasa kesosialan sesama kita makhluq sosial, terasa bagi kesehatan kita yang telah di buktikan dalam berbagai riset kesehatan terutama mengatasi gejala penyakit lambung.
Yang ironisnya kita kurang memahami hikmah (waridat) dari puasa ini. Dimana telah Allah jelaskan dalam surah Al baqarah : 183 di sana di katakan “semoga engkau menjadi orang yang bertaqwa. Dalam tujuan Allah bertaqwa, kita mudah kembali mengingatnya dan kembali kepadanya sebagaimana firmannya
{28} ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar ra’du: 28)