
Oleh Zulfata, Pemimpin Redaksi Majalah Pedagang Merdeka.
Opini – Jabatan menteri tidak bisa dipandang sekadar pembantu presiden dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Terlebih menjelang akhir periode masa jabatan presiden. Kilas balik sejarah perpolitikan menteri dari masa presiden Soekarno, Soeharto dan seterusnya hingga masa akhir kepemimpinan presiden Jokowi, tanpa disadari apa yang disebut dengan perpolitikan menteri sangat menentukan konfigurasi gerbong politik tahapan selanjutnya.
Gerbong politik para menteri ini boleh jadi menyamar dalam bentuk bakal koalisi, semi koalisi, hingga koalisi pura-pura sebagai laboratorium uji kekuatan politik mana yang patut dimenangkan, bukan soal siapa yang layak menang. Selebihnya, gerbong politik yang terus mencair, merambat dan menciptakan arus-arus bawah tanahnya sehingga menjadi penyangga politik yang kokoh setelah pilpres usai. Memahami jabatan menteri yang tidak sekadar sebagai pembantu presiden dapat didalami dengan beberapa fakta sejarah bahwa adanya menteri yang memanfaatkan kekuatan presiden untuk kemudian menjadikan menteri tersebut mendapat tenaga khusus untuk menjadi presiden selanjutnya.
Beberapa presiden sebelum Jokowi merupakan bentuk nyata bahwa kekuatan politik menteri untuk sampai pada jabatan presiden pernah terjadi. Sebaliknya, tidak semua presiden yang pernah menjadi menteri akan akur pada mantan presiden yang pernah tempat ia bergantung. Politik labirin para menteri semakin sulit ditebak pada saat detik-detik masa presiden akan berakhir. Berbagai propaganda para menteri semakin tak terkendali dengan tidak menyebutnya para menteri semakin tidak lagi berada pada porsi atau tugas pokok dan fungsi jabatannya sebagai menteri, melainkan para menteri tampak merasa sejajar dengan kekuatan presiden itu sendiri.
Panggung politik demokrasi lima tahunan semakin membuka dengan tidak menyebutnya dinamis dalam keliarannya, bahkan semakin membuat para menteri tampil lebih lincah dan licin. Preseden dan praksis politik para menteri seperti ini semakin unik ketika presiden Jokowi seperti memliki niat untuk menitipkan kekuatan politiknya secara soft power di berbagai lini penyangga politik transisi kepemimpinan nasional. Presiden Jokowi kini tampak tidak tinggal diam ketika ada upaya-upaya para menteri, bahkan para ketua umum partai politik, hingga kepala lembaga terkait pilpres yang tidak sejalan dengan visi politik soft powernya presiden Jokowi.
Presiden Jokowi di akhir periodenya tampak semakin terampil dalam memegang kendali politik para menteri tersebut. Presiden Jokowi tampak cenderung menaruh kepercayaan khusus kepada beberapa menteri yang terus diberikan karpet merah dalam bergerak menuju pos-pos pilpres 2024. Tidak terhenti di situ, juga terlihat ada semacam keinginan politik dari presiden Jokowi bahwa capres dan cawapres 2024 mesti memiliki garis politik yang sama dengan keinginan politik jangka panjangnya presiden Jokowi, baik itu untuk kepentingan sejarah maupun untuk kepentingan pragmatis-kolegial.
Ibarat bermain catur, gerbong politik para menteri di masa presiden Jokowi ini lebih dominan mengampil posisi sebagai kuda. Para menteri yang sekadar dijadikan pion dengan sendirinya terus berguguran seiring perjalanan waktu. Sementara itu, para menteri “jagoannya” presiden Jokowi terus tampil menari-nari layaknya telah menjadi sebagai presiden. Dalam mencermati politik para menteri saat ini, secara kontras terlihat bahwa para menteri dalam satu garbong mahir memainkan situasi dan dinamika yang seolah-olah bertolak belakang, mengambil posisi kontra, seolah-olah bercerai berai tetapi sejatinya melaju dengan bergandengan tangan tanpa terlihat jelas di depan layar publik.
Selain para menteri yang dimaksud adalah representasi partai politiknya masing-masing, posisi sedemikian semakin memberi sinyal bahwa perang antar partai yang pernah duduk bersama dalam kabinet presiden Jokowi sejatinya tampak tidak benar-benar berperang secara politik garis keras. Dengan menguatnya oligarki politik dan ketidakstabilan keberpihakan hukum saat ini sejatinya dapat memberi pelajaran cerdas bagi publik bahwa tidak ada perang politik yang akan benar-benar berakhir jadi abu atau arang. Justru yang terjadi adalah perang politik dari satu barisan menteri yang pernah duduk bersama akan berakhir pada komposisi kekuasaan sesuai porsinya, sesuai kadar dispensasinya, hingga pada sesuai takaran untung dan rugi sepanjang perhelatan pilpres 2024.
Penulis tidak sedang benar-benar memberikan keyakinan kepada publik bahwa hasil akhir pilpres 2024 nantinya akan diraih oleh menterinya kabinet Jokowi, tetapi gejala menuju ke sana tampak memang sedang dirancang. Para menteri Jokowi tampak hanya sekadar berlomba tanpa berakhir dengan benturan politik yang melelahkan dan berdurasi panjang. Namun yang disayangkan adalah ada sosok-sosok di luar menteri yang tak terhindari akan jadi korban gerpong politik para menteri atau korban ketua umum partai politik tertentu.
Konstelasi politik pilpres 2024 memang masih mencair, dan diprediksikan akan terus mencair. Terlebih faksi politik garis kanan saat ini semakin melemah, tak berdaya, terkapar akibat minimnya keberpihakan bohir politik. Kekuatan politik identitas, status sosial hingga arus stigma politik dengan mudahnya terjaring ke dalam politik kapitalisasi dan politik kompensasi pada jabatan-jabatan kenegaraan usai pilpres 2024.
Sudah selayaknya publik didorong agar semakin dewasa menerima kenyataan politik Indonesia hari ini, jika tidak, praktik politik untung akan semakin melipatgandakan keuntungannya, dan sebaliknya praktik politik buntung akan selalu mendapat kebuntungannya. Pada posisisi demikian, publik mesti cerdas, bijak dan strategis dalam menentukan posisi dan sikap politiknya dalam menyambut pesta politik 2024, sebab tumbal politik selalu ada tanpa ada pemberitahuan jauh-jauh hari sebelumnya.