Bubarkan Dewan Perwakilan Daerah?
“Dewan Perwakilan Daerah, Antara Ada dan Tiada”. Demikianlah sub judul tematik anak kandung reformasi di halaman Kompas (27/03/2023). Dari tiga lembaga buah dari gerakan reformasi 1998 yaitu Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi hingga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat ini penting untuk terus dievaluasi seiring lemahnya dalam berperan sesuai semangat awal pembentukannya.
Dari tiga lembaga anak kandung reformasi tersebut, posisi DPD adalah satu lembaga yang kini dapat disebut tidak jelas fungsinya tanpa menyebutkan sebagai lembaga “persinggahan politik” dan lembaga yang jelas-jelas memboroskan anggaran negara. Berbagai pandangan terkait semakin melemahnya keberadaan DPD bukan saja datang dari publik, tetapi juga turut disampaikan oleh para mantan ketua DPD, hingga ketua DPD dan anggota DPD aktif saat ini.
Semua kalangan hari ini mengakui fungsi DPD semakin lemah, ia terkesan hanya memiliki kewenangan yang tidak begitu penting di gedung parlemen RI. Sebagai buktinya, ada beberapa agenda legislatif yang cenderung DPD ditinggal sebelum berangkat. Tepatnya sengaja dianaktirikan secara politik oleh DPR-RI. Kewenangan DPD sekadar mengajukan, membahasn RUU, itu pun bersifat setengah jalan hingga tidak sampai pada proses persetujuan.
Singkatnya, fungsi agregator DPD hingga sebagai penyeimbang politik bagi DPR-RI, secara tidak langsung DPD telah tergilas fungsi oleh DPR-RI. Perumpamaan omnibus law cipta kerja, DPR-RI telah menjadi lembaga sapu jagat bagi DPD. Sehingga keberadaan DPD antara ada dan tiada, dan hal ini merupakan kenyataan yang tidak sinyal untuk menyelamatkan atau memperkuat DPD detik ini hingga masa depan.
Mengapa sedemikian? Alasan dan pertimbangannya dapat dilihat melalui beberapa hal. Pertama adalah iklim politik yang terus memperkuat oligarki politik dan resentralistik secara laten. Disadari atau tidak, politik resentralistik Indonesia hari ini semakin menguat meskipun narasi-narasi desentralisasi dan otonomi daerah terus diperbincangkan antara pusat dan daerah. Sebagai contoh, keberadaan omnbus law hingga penentuan penjabat kepada daerah pun masih pemerintah pusat yang dominan. Lainnya, masih banyak praktik-praktik negara yang memang sedang menunjukkan bahwa sentralistik pengelolaan negara tidak akan pernah pudar.
Kedua adalah tidak satu pun anggota DPD saat ini berkinerja baik jika hanya mengikuti tugas pokok dan fungsinya. Sebab semua fungsi DPD telah tergilas habis oleh anggota DPR hingga partai politik. DPD kini benar-benar menjadi tempat para pensiunan politik yang tidak aktif di partai politik, hingga tidak menyebut DPD dijadikan sebagai tempat monopoli politik dalam brbisnis setelah mampu merebut jabatan ketua DPD. Untuk itu, tidak ada bantahan pula bahwa DPD hari ini tidak sedikitpun bermanfaat bagi rakyat, bangsa dan negara. Atas dasar pertimabangn ini pula sejatinya sudah layaklah DPD dibubarkan atas kepentingan rakyat, negara dan bangsa. Jika tidak, ia akan selalu menjadi lembaga negara yang merusak negara dari dalam secara pelan-pelan, baik dari sisi pemborosan anggarannya, maupun dari sisi pembodohan publik dan birokrasi yang terus dipertontonkan republik ini.
Dalam konteks politik Indonesia kekinian pula, justru rakyat dan bangsa serta negara tidak akan dirugikan jika DPD dibubarkan. Selain tidak menjadi residu politik serta menjamurnya politisi yang sering menipu rayat, juga dengan membubarkan DPD secara tidak langsung dapat menciptakan efisiensi bagi lembaga negara dalam memperjuangkan aspirasi rakyat secara fokus. Menariknya lagi, tanpa ada DPD, drama politik di parlemen RI dapat berkurang. Atas kondisi ini pula tentunya semua pihak mesti mengedepankan sikap rasional dan konsep yang matang saat benar-benar ingin membubarkan DPD. Tidak seperti DPD ini dibentuk dengan dijalankan tanpa adanya kemantangan konsep dan arah politik yang jelas untuk kemaslahatan masyarakat dan daerah.
Jika masih ngotot dipertahankan dengan alasan DPD perlu diperkuat, Apakah dengan situasi politik dan iklim demokrasi Indonesia hari ini dapat mengarah ke niat tersebut? Terlebih gelombang kekuatan partai politik semakin dominan mengejar jumlah kursi di parlemen. Sebaliknya, Jika DPD dibubarkan, justru akan membuka jalan bagi publik untuk seterusnya serius menghadapi tantangan dari wakilnya yang bernama DPR-RI. Sehingga politisi poros DPD tidak lagi menjadi beban politik tambahan bagi rakyat hari ini dan kemudian hari.
Tentunya kajian ini tidak muncul dari sikap emosional yang membabi-buta, justru tulisan ini hadir sebagai pemicu penalaran publik agar rakyat serta kalangan elite politik mampu mengedepankan politik rasional-kolektif, sehingga tidak membesarkan praksis politik merawat dusta di antara kita dalam berbangsa dan bernagara.
Oleh karena itu, penting untuk direnungi adalah; Jika DPD benar-benar ingin diperkuat? Masih adakah peluang yang rasional untuk itu? Atau jalan tersebut adalah jalan buntu dan mustahil dilakukan. Sebaliknya, Jika DPD dapat dibubarkan? Ada berapa manfaat kerakyatan yang akan didapat oleh rakyat dan negara? Terkadang dalam kehidupan ini memaksa kita untuk dapat memilih yang terbaik, bukan membiarkan hal-hal yang sudah dipahami bahwa sesuatu tersebut tidak pantas lagi untuk dipertahankan. Termasuk sesuatu yang baik untuk membubarkan sesuatu yang layak untuk dibubarkan.