Berdamai dengan Oligarki?
Oleh Zulfata, Direktur Kartika Cendekia Nusantara (KCN). Jakarta Selatan.
Barangkali ada para pelaku sejarah yang meyakini bahwa tumbangnya orde baru bukanlah seutuhnya menginginkan kehidupan yang demokratis, atau bercita-cita mendirikan negeri yang demokratis, melainkan justru ada yang melihat bahwa gerakan reformasi hadir sebagai hal yang dipengaruhi salah satunya oleh kondisi sulitnya bertahan hidup akibat gejolak ekonomi rakyat pada waktu itu. Seiring dengan itu pula, runtuhnya orde baru atau lengsernya Soeharto tidak dapat dijadikan jaminan bahwa oligarki akan terbenam total. Justru yang terjadi adalah semakin berkembangbiaknya praksis oligarki meskipun rezim silih berganti.
Tidak terhenti di situ, meskipun kita sudah sampai pada hipotesa bahwa oligarki semakin menguat pasca reformasi. Sebagai buktinya, pahamilah postur politik atau iklim berdemokrasi di Indonesia saat ini. Sebut saja saat menikmati dinamika pilpres 2024 sebelum, saat dan sesudahnya. Perhatikan jaring laba-laba antara relasi ekonomi dan politik, baik dari sisi partai politik dengan istana, parleman, perusahaan, penegak hukum hingga dengan lembaga-lembaga negara yang diharapkan kuat dengan independensinya.
Sekadar membuktikan bahwa oigarki di Indonesia (bukan saja di Asia) yang semakin berkembangbiak, beranak cucu-cicit dan seterusnya. Melihat buah reformasi dengan keberadaan lembaga KPK, MK dan DPD-RI saat ini semakin menampakkan betapa tumpulnya kinerja lembaga tersebut yang tidak seirama dengan cita-cita yang diharapkannya. Sebagai dampak dari itu, kebijakan atau produk legislasi yang diinginkan selalu bertolak belakang dengan apa yang terbaik bagi rakyat. Hal yang membela kepentingan rakyat justru tidak diaminkan oleh lembaga-lembaga yang disebut sebagai produk reformasi tersebut. Penulis dalam posisi ini tidak ingin menyebut bahwa apakah reformasi 1998 merupakan instrumen propaganda pemodal politik asing yang sedang mengelola emosi rakyat Indonesia terhadap pemimpinnya? Meskipun banyak sinyal dan gejala tampak mengarah ke situ.
Lebih serunya jika tulisan ini berusa ingin blak-blakan dengan maksud menguraikan apa yang telah menjadi rahasia umum saat ini, dan sesuatu info yang sulit didapat masa orde baru. Berbagai praktek transaksional dalam menggerakkan massa, atau alur modal dalam menggerakkan ongkos-ongkos pergerakan yang katanya hak untuk berdemokrasi sudah nyata-naya dilihat. Demokratisasi di Indonesia justru semakin liberal.
Demikian halnya proses perdangangan, perizinan investasi, dan sebagainya yang mengarah bagi penguatan cangkang politik dalam membiayai mesin-mesin politik, dengan tidak menyebutnya dengan melipatgandakan para koruptor secara laten, dan menangkap koruptor-koruptor dengan level medium, tidak untuk koruptor kelas kakap. Maka tidak berlebihan rasanya ketika kita dapat membenarkan apa yang dikatakan Mahfud MD bahwa “Sekarang saudara noleh ke mana saja ada korupsi”. Tentunya korupsi tersebut semakin menguat sebagai akibat dari kuatnya oligarki.
Dengan berkembangbiaknya oligarki di Indonesia saat ini (meskipun sejak Indonesia merdeka). Apakah itu berbentuk oligarki politik, oligarki bisnis dan oligarki dimensi lainnya. Yang jelas oligarki semakin kuat dengan pola perawatannya melalui politik patronase, kebijakan pemburu rente, dinasnti, keluarga, orang kepercayaan, kaderasisasi dan lain sebagainya. Hari ini, Indonesia sudah naif jika tidak melihat satu kesatuan antara swasta dan pemerintah, atau antara bisnis dan politik. Kini semuanya menyatu dalam “politik parlemen”.
Suatu yang omong kosong ketika mengatakan tidak ada kaitannya anatara industri/perusahaan dengan partai politik. Suatu yang mustahil pula jika mengatakan pertempuran politik tanpa pemodal. Termasuk pula sungguh bodoh jika hari ini masih ada yang mengatakan bahwa kehendak rakyat akan menentukan segalanya tanpa ada sokongan kaum oligarki. Sebab pilar-pilar rakyat hari ini terlanjur mudah dikontrol, dimobilisasi dan dipecah-belahkan konsentrasinya, baik secara ekonomi, pendidikan maupun politik.
Lihat pula dari sektor industri media misalnya (jika tidak ingin mendalami dari sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan), berbagai media arus utama, apakah itu media cetak maupun media digital. Semua media arus utama ini memiliki tuan yang disebut oligark. Hari ini, tanpa sokongan dari tuan-tuan oligark, media tidak dapat bertahan hidup dalam mengarungi tantangannya. Sementara itu, media cukup mempengaruhi stabil atau tidaknya bangsa dan negara ini dalam melangkah. Jauh dari itu, potret perwujudkan negara dan rakyat dapat ditentukan oleh mekanisme kerja media, pasar dan politik.
Untuk itu, tidak berlebihan rasanya menyampaikan ke publik terkait mampukah oligarki itu dilawan? Atau justru oligarki untuk “dijinakkan”? Faktanya, banyak gerakan yang menentang oligarki pun pada akhirnya telah berubah menjadi oligarki. Lihat saja China misalnya. Negara yang katanya berprinsip komunal, namun pada akhirnya tidak ada bedanya dengan ekosistem oligarki. Terlebih lagi di Indonesia, oligarki semakin awet pasca reformasi.
Yang ingin disampaikan dari kajian ini adalah adakah kemungkinan bijaksana ketika Indonesia atau rakyat Indonesia berdamai dengan oligarki? Sementara ada hipotesa yang mengatakan bahwa negara kesejahteraan tersebut dapat terwujud ketika oligarki dapat berbaik hati. Dengan argumentasi ini, mengapa tidak haluan perjuangan rakyat, elite, civil society fokus berjuang untuk oligarki agar dapat berbaik hati di negeri ini? Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan rakyat dan golongan perlawanan lainnya yang belum ingin berdamai dengan oligarki. Satu alasan dari banyak alasan lainnya adalah jamaah oligarki saat ini masih rakus dan belum begitu banyak yang berbaik hati.
Apakah saat ini tidak ada oligarki yang baik hati? Tentu jawabannya adalah ada. Di manakah golongan oligarki yang berbaik hati ini? Hanya manusia berfikir dan berjiwa besar yang mampu melihat keberadaan dan peran kaum-kaum oligarki yang berbaik hati di negeri ini. Pertanyaan lanjutannya untuk direnungkan adalah sampaikan kapan terus-terusan terjebak pada propaganda demokratisasi tanpa oligarki? Sampai kapan pula negeri ini selalu berada di persimpangan antara menikmati dan memusuhi oligarki? Sehingga Indonesia cenderung berada dalam kegamangannya sendiri dalam melaju di kemudian hari.