Antara Puan dan AHY
Puan Maharani tampak akan dipersiapkan sebagai capres, apakah itu pada 2024 atau setelahnya. Begitu juga dengan Agus Harimurti Yodhoyono (AHY), yang awalnya direncanakan disebut ingin dijadikan sebagai capres 2024, seiring perjalanan waktu, ternyata kepantasan AHY, jangankan sebagai capres, sebagai bakal cawapres pun untuk disandingkan dengan Anies Baswedan belum tentu terjadi sejak mendekatnya PKS terhadap Anies pada tahapan awal bakal capres 2024. Terlepas dari masih rendahnya kinerja politik dan elektabiitas masing-masing anak presiden dan pemilik partai politik tersebut, Puan dan AHY saat ini tampak butuh berjuang lebih ekstra agar dapat sejajar atau melampaui prestasi politik orang tua mereka.
Dicermati dari sisi komunikasi politik, Puan mengakui sendiri mengapa ia cenderung dibuli, masih belum disukai lantaran ia sudah merasa banyak bekerja untuk rakyat. Sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, belum mampu menjadikannya melejit secara elektabilitas dan popularitas, meskipun alat peraga untuk membesarkan nama puan terus bertebaran di berbagai papan iklan di seluruh tanah air. Demikian juga dengan isu kesetaraan gender atau framing politik perempuan juga belum mampu menghantarkan peningkatan citra politik Puan di mata seluruh rakyat Indonesia. Terlebih pada beberapa peristiwa politik parlemen, terkadang Puan mengalami praktik “politik anak-anak”, misalnya dengan mematikan mikropon saat peserta sidang sedang memberikan pandangan politik.
Dengan tidak menyebut kalangan aktivis di luar partainya yang menyebut bahwa Puan butuh terus mematangkan kemampuan politiknya, hal ini juga terjadi pada AHY. AHY masih tergolong sebagai pemimpin partai politik karbitan, jika sosok seperti AHY berada di Partai Golkar, barangkali AHY tersebut tidak akan dapat posisi pimpinan partai dengan tidak menyebutnya terombang-ambing bagaikan kapal di tengah lautan tanpa tujuan.
Antara Puan dan AHY diakuai atau tidak ibarat produk yang terkesan mengalami paksaan barang cepat jadi karena diuntungkan pada posisi trah atau keturunan politik dari orang tuanya. Dalam konteks ini pula, Megawati dan SBY sebagai tokoh politik ulung, mereka pernah akrab dan bekerjasama dalam satu masa pemerintahan, tetapi kemudian tampak selalu berseberangan dalam setiap pilpres berlangsung. Di mana ada partainya SBY, disitu pula tidak ada partainya Megawati.
Artinya, antara SBY dan Megawati tidak pernah menyatu bagaikan minyak dengan air. Apakah Puan dan AHY juga akan mewariskan benturan politik seperti yang dialami oleh orang tua mereka? Tentu tidak bisa cepat menjawabnya, karena Puan dan AHY mesti menempuh proses politik yang masih panjang dan mesti terus mematangkan diri mereka, sehingga partai yang telah dibesarkan oleh orang tuanya tidak mengalami kebangkrutan, rapuh dengan tidak menyebut seperti nasib PPP hari ini.
Selain menemukan mulusnya jalan Puan dalam meraih kursi di parlemen karena kehebatan orang tuanya, demikian juga AHY, mulus menjadi pemimpin partai diakibatkan juga karena orang tuanya. Paling tidak, pada posisi ini tampak Puan lebih berpengalaman dalam perjalanan politik jika dibandingkan dengan AHY. Sebab Puan telah memiliki rekam jejak dalam memjabat jabatan strategis di pemerintahan. Berbeda dengan AHY yang masih serba tanggung saat ini. AHY dianggap belum begitu berperan penuh dalam karir militernya, dan masih tampak terlalu “polos” dalam memimpin partai politik yang pernah besar di Indonesia.
Teradapat pula ada kemiripan cara berkomunikasi anatara Puan dan AHY, beberapa pernyataan politik antara Puan dan AYH tampak blunder di ruang publik. Tanpa menyebutkan pernyataan-pertanyaan politik tersebut, paling tidak melalui sikap dan posisi Puan dan AHY dapat diambil pelajaran bagi generasi muda atau generasi milenial saat ini adalah jangan pernah merasa terlalu bangga dengan kehebatan yang dicapai oleh orang tua, tetapi sebagai anak juga mestinya mampu memantaskan diri dalam sejarah dan di ruang publik terkait sesuatu yang diberikan orang tua, atau berjuang dengan gagasan dan gerakan yang dimulai dari diri sendiri.
Benar bahwa Puan dan AHY tidak meminta diri mereka dilahirkan dari keluarga yang pernah menjadi presiden Republik Indonesia. Namun sejarah politik Indonesia mengajarkan bahwa pengaruh keluarga, trah, keturunan bahkan keterwakilan wilayah sangat mempengaruhi karir politik seseorang untuk menjadi apa. Namun demikian, bukan berarti dengan modal politik kekeluargaan tersebut dapat menjadikan politik demokrasi Indonesia semakin menguat. Justru dengan pola politik yang sedang dilakoni oleh Puan dan AHY saat ini sedang manampakkan tanda-tanda bahaya bagi masa depan demokrasi Indonesia. Artinya, ketika masih ada faktor keturunan yang tidak dapat ditembus oleh kader partai saat ingin menentukan keputusan politik tertinggi dalam sebuah partai, dapat dipastikan lambat launnya partai tersebut akan berantakan dengan tidak menyebutnya menciptakan api dalam sekam.
Pembelajaran posisi antara Puan dan AHY ini pula secara tidak langsung dapat ditarik benang merah bahwa dalam berpolitik mesti membutuhkan perjuangan jangka panjang, dedikasi dan loyalitas level tinggi. Tidak dengan sekadar berposisi anak kandung langsung siap jadi memimpin partai politik atau negeri ini. Sebab untuk menjadi pemimpin politik di Indonesia sejatinya tidak bisa dibangun dengan kekuatan politik karbitan.
Dalam konteks inilah sejatinya pencerdasan politik publik mesti terus ditaburkan, paling tidak publik dapat menilai sejauhmana kematangan politik calon-calon pemimpinnya di masa kini maupun masa depan. Jika faktor keturunan semakin kuat mengisi peran transformasi kepemimpinan politik di Indonesia, sudah dapat dipastikan Indonesia akan terus mengalami krisis kepemimpinan politik. Maka dari itu, yang harus disadari adalah krisis kepemimpinan politik secara nasional itu adalah bentuk ancaman nyata bagi bangsa dan dengan yang harus cepat dicegah.