MK Bolehkan Kepala Daerah di Bawah 40 Tahun Maju di Pilpres, Ini Alasannya

Jakarta,Liputanjurnalis.com –Regulasi pemilihan umum (pemilu) Indonesia berubah usai Mahkamah Konstitusi (MK) resmi membolehkan Kepala Daerah di bawah usia 40 tahun maju di Pilpres 2024.

Padahal pada regulasi pemilu sebelumnya, yang hendak maju dalam Pilpres harus berusia 40 tahun ke atas.

Bacaan Lainnya

MK mengeluarkan putusan kasus ini pada Senin (16/10) dalam perkara gugatan terhadap pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret, Almas Tsaqibbirru

MK memutuskan bahwa pasal tersebut “bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Dalam putusannya, MK menyatakan batas usia minimal 40 tahun untuk calon presiden dan calon wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945.

Dengan catatan bahwa seseorang berusia di bawah 40 tahun bisa mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden, asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.

Jabatan yang dipilih melalui pemilu adalah presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD serta kepala daerah atau wakil kepala daerah tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.

Dalam berkas permohonan gugatan uji materi kepada MK, Almas menyebut dirinya sebagai pengagum Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.

Gibran, yang merupakan putra pertama Presiden Joko Widodo, belakangan disebut-sebut akan dipasangkan oleh sejumlah partai politik dengan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024.

Putusan MK ini dibacakan dalam sidang di Jakarta, yang digelar secara marathon untuk mengadili perkara gugatan terkait batas usia minimal capres-cawapres.

Sebelumnya, MK menolak gugatan terhadap syarat batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

MK merinci berbagai pertimbangan hukum mereka, antara lain bahwa pengaturan batas usia minimal tersebut berada di tangan pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah.

Atas putusan MK ini, Pasal 169 huruf q pada UU 7/2017 tentang Pemilu yang dipersoalkan oleh PSI akan tetap berlaku. Pasal ini menentukan bahwa capres dan cawapres harus berusia setidaknya 40 tahun.

“Dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Hakim Konstitusi, Saldi Isra, saat membacakan putusan.

Dalam mempertimbangkan putusannya, MK merujuk perdebatan dalam proses perubahan UUD 1945 yang terjadi di MPR pada tahun 2000. Dalam risalah amandemen konstitusi itu, MPR sepakat bahwa batas usia merupakan materi yang akan diatur dengan UU.

Oleh karena itu, menurut MK, Pasal 169 huruf q pada UU 7/2017 tentang Pemilu “adalah pelaksanaan dari pasal 6 ayat 2 UUD, sehingga tidak melampaui kewenangan pembutan UU”.

MK juga menolak dalil yang diajukan PSI bahwa batas usia 40 tahun bagi capres-cawapres bertentangan dengan moralitas, rasionalitas dan menimbulkan ketidakadilan. Menurut MK, sebagaimana diutarakan hakim Saldi Isra, kalaupun syarat umur itu diturunkan menjadi 35 tahun, syarat tersebut akan tetap menimbulkan persoalan.

“Jadi MK tidak dapat menentukan batas usia minimal karena memungkinkan adanya dinamika di kemudian hari. Jika MK menentukan batas usia capres-cawapres, fleksibilitasnya menjadi hilang dan dapat memicu munculnya berbagai permohonan terkait dengan syarat batas usia minimal pejabat publik,” kata Saldi Isra.

Dalam kesimpulan lainnya, MK menyatakan ketentuan batas usia capres-cawapres tidak dapat disamakan dengan perubahan batas maksimal umur pimpinan KPK.

Dalam putusan terhadap batas usia minimal capres-cawapres ini, dua hakim konstitusi menyatakan ketidaksetujuan dan memberikan pendapat hukum berbeda (dissenting opinion). Keduanya adalah hakim Suhartoyo dan hakim Guntur Hamzah. Namun pendapat keduanya tidak memiliki kekuatan hukum atas putusan secara keseluruhan.

Sebelum mengeluarkan putusan, MK telah membaca dan mendengar keterangan para pemohon, DPR dan pemerintah.

MK juga mendengarkan keterangan pihak terkait serta para ahli yang mereka ajukan.

Pihak terkait ini antara lain Perludem, Komite Independen Pemantau Pemilu dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat.

Dalam mempertimbangkan putusannya, MK merujuk perdebatan dalam proses perubahan UUD 1945 yang terjadi di MPR pada tahun 2000. Dalam risalah amandemen konstitusi itu, MPR sepakat bahwa batas usia merupakan materi yang akan diatur dengan UU.

Oleh karena itu, menurut MK, Pasal 169 huruf q pada UU 7/2017 tentang Pemilu “adalah pelaksanaan dari pasal 6 ayat 2 UUD, sehingga tidak melampaui kewenangan pembutan UU”.

MK juga menolak dalil yang diajukan PSI bahwa batas usia 40 tahun bagi capres-cawapres bertentangan dengan moralitas, rasionalitas dan menimbulkan ketidakadilan. Menurut MK, sebagaimana diutarakan hakim Saldi Isra, kalaupun syarat umur itu diturunkan menjadi 35 tahun, syarat tersebut akan tetap menimbulkan persoalan.

“Jadi MK tidak dapat menentukan batas usia minimal karena memungkinkan adanya dinamika di kemudian hari. Jika MK menentukan batas usia capres-cawapres, fleksibilitasnya menjadi hilang dan dapat memicu munculnya berbagai permohonan terkait dengan syarat batas usia minimal pejabat publik,” kata Saldi Isra.

Dalam kesimpulan lainnya, MK menyatakan ketentuan batas usia capres-cawapres tidak dapat disamakan dengan perubahan batas maksimal umur pimpinan KPK.

Dalam putusan terhadap batas usia minimal capres-cawapres ini, dua hakim konstitusi menyatakan ketidaksetujuan dan memberikan pendapat hukum berbeda (dissenting opinion). Keduanya adalah hakim Suhartoyo dan hakim Guntur Hamzah. Namun pendapat keduanya tidak memiliki kekuatan hukum atas putusan secara keseluruhan.

Sebelum mengeluarkan putusan, MK telah membaca dan mendengar keterangan para pemohon, DPR dan pemerintah.

MK juga mendengarkan keterangan pihak terkait serta para ahli yang mereka ajukan.

Pihak terkait ini antara lain Perludem, Komite Independen Pemantau Pemilu dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat.

Dalam mempertimbangkan putusan mereka, MK menyebut telah merunut pengaturan syarat usia capres-cawapres sejak era kemederkaan, berakhirnya Orde Lama, dan pemilu pada masa Orde Baru.

MK juga melacak risalah perdebatan dalam pembahasan perubahan UUD 1945, terutama mengenai persyaratan presiden yang tertuang dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945.

Dalam proses perubahan konstitusi, Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR, kata MK, menyepakati dua alternatif yang dilaporkan ke Rapat ke-5 tertanggal 23 Oktober 2001.

Alternatif pertama, UUD 1945 hanya akan mengatur syarat kewarganegaraan capres-cawapres, sementara syarat lainnya akan diatur melalui undang-undang.

Alternatif dua yang didiskusikan pada waktu itu, UUD 1945 akan mengatur syarat kewarganegaraan capres-cawapres, batas usia minimal sekurang-kurangnya 40 tahun, aturan tentang tidak pernah dijatuhi pidana, dan kemampuan jasmani dan rohani.

Yang disetujui oleh MPR, kata MK, adalah alternatif pertama. Merujuk fakta hukum ini, MK menyebut pengaturan soal batas usia minimal 40 tahun adalah pelaksanaan atas Pasal 6 ayat 2 UUD 1945.

MK juga menolak dalil PSI yang menuduh batas usia minimal bertentangan dengan konvensi ketatanegaraan karena Sutan Sjahrir pernah memimpin Indonesia pada usia 36 tahun.

Menurut MK, dalil ini tidak tepat karena kepemimpinan Sjahrir terjadi pada  usia 36 tahun.Yang disetujui oleh MPR, kata MK, adalah alternatif pertama. Merujuk fakta hukum ini, MK menyebut pengaturan soal batas usia minimal 40 tahun adalah pelaksanaan atas Pasal 6 ayat 2 UUD 1945.

MK juga menolak dalil PSI yang menuduh batas usia minimal bertentangan dengan konvensi ketatanegaraan karena Sutan Sjahrir pernah memimpin Indonesia pada usia 36 tahun.

Menurut MK, dalil ini tidak tepat karena kepemimpinan Sjahrir terjadi pada pemerintahan parlementer.

MK juga menolak dalil bahwa batas usia minimal capres-cawapres melanggar prinsip kelembagaan triumvirate atau ketika menteri luar negeri, menteri dalam negeri, dan menteri pertahanan menggantikan presiden dan wakil presiden yang berhalangan.

Menurut PSI, para menteri yang tidak memiliki batas usia minimal tidak dapat menggantikan presiden-wakil presiden karena kemungkinan tidak berumur 40 tahun.

Namun menurut MK, kedudukan tiga menteri tadi, dalam konsep triumvirate,bukanlah sebagai presiden dan wakil presiden definitif, tapi hanya pelaksana tugas sampai terpilihnya presiden dan wakil presiden baru.

Tidak cuma mengenai batas usia minimal, MK juga menolak permohonan sejumlah kepala daerah yang meminta agar setiap orang di bawah 40 tahun tetap bisa menjadi capres-cawapres asalkan pernah menjabat sebagai penyelenggara negara.

Menurut MK, sebuah pasal yang memuat batas usia minimal tapi membuka peluang untuk mengabaikan batasan tersebut dengan aturan lain berpotensi memicu kontradiksi hukum.

“Melarang sekaligus membolehkan yang seseorang di bawah 40 tahun untuk dicalonkan sebagai capres-cawapres sepanjang yang bersangkutan adalah atau pernah menjabat pejabat negara memicu kontradiksi. Sifat kontradiktif akan memicu kebingungan dan ketidakpastian hukum, yang bertentangan dengan UUD 1945,” kata MK .

Yang disetujui oleh MPR, kata MK, adalah alternatif pertama. Merujuk fakta hukum ini, MK menyebut pengaturan soal batas usia minimal 40 tahun adalah pelaksanaan atas Pasal 6 ayat 2 UUD 1945.

MK juga menolak dalil PSI yang menuduh batas usia minimal bertentangan dengan konvensi ketatanegaraan karena Sutan Sjahrir pernah memimpin Indonesia pada usia 36 tahun.

Menurut MK, dalil ini tidak tepat karena kepemimpinan Sjahrir terjadi pada pemerintahan parlementer.

MK juga menolak dalil bahwa batas usia minimal capres-cawapres melanggar prinsip kelembagaan triumvirate atau ketika menteri luar negeri, menteri dalam negeri, dan menteri pertahanan menggantikan presiden dan wakil presiden yang berhalangan.

Menurut PSI, para menteri yang tidak memiliki batas usia minimal tidak dapat menggantikan presiden-wakil presiden karena kemungkinan tidak berumur 40 tahun.

Namun menurut MK, kedudukan tiga menteri tadi, dalam konsep triumvirate, bukanlah sebagai presiden dan wakil presiden definitif, tapi hanya pelaksana tugas sampai terpilihnya presiden dan wakil presiden baru.

Tidak cuma mengenai batas usia minimal, MK juga menolak permohonan sejumlah kepala daerah yang meminta agar setiap orang di bawah 40 tahun tetap bisa menjadi capres-cawapres asalkan pernah menjabat sebagai penyelenggara negara.

Menurut MK, sebuah pasal yang memuat batas usia minimal tapi membuka peluang untuk mengabaikan batasan tersebut dengan aturan lain berpotensi memicu kontradiksi hukum.

“Melarang sekaligus membolehkan yang seseorang di bawah 40 tahun untuk dicalonkan sebagai capres-cawapres sepanjang yang bersangkutan adalah atau pernah menjabat pejabat negara memicu kontradiksi. Sifat kontradiktif akan memicu kebingungan dan ketidakpastian hukum, yang bertentangan dengan UUD 1945,” kata MK dalam putusannya.

MK menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q pada UU 7/2017 “tidak bertentangan dengan perluakuan adil dan diskriminatif, dan tidak melanggar Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) serta 28I ayat (2) UUD 1945.

<span;>Gugatan soal syarat capres-cawapres yang dikaitkan dengan pengalaman sebagai penyelenggara negara diajukan Wali Kota Bukittinggi, Erman Safar; Wakil Bupati Lampung Selatan Periode, Pandu Kesuma Dewangsa; Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor; dan Wakil Bupati Mojokerto, Muhammad Albarraa.

Sumber:TBN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *